Kalau dulu, kebanyakan masyarakat memanfaakan lahan pekarangan rumahnya dengan menanam bunga atau tanaman hias. Memang, kelihatan cantik tetapi dari segi ekonominya kurang bermanfaat. Tetapi, saat ini cara pandang masyarakat dalam memanfaatkan lahan pekarangan rumahnya terutama masyarakat pedesaan mulai berubah. Komoditas yang ditanam mulai diperhitungkan sisi ekonominya.
Tanaman kakao menjadi tren. Lahan-lahan pekarangan diisi dengan tanaman kakao. Hal itu dikarenakan harga buah kakao yang terbilang tinggi, berkisar Rp 24.000 per kilogram (kg). Tidak hanya itu, perawatan tanaman kakao juga tidak sulit karena tanaman kakao memang bukan tanaman manja.
Ada yang menanam dalam jumlah banyak namun ada juga yang hanya menanam sekitar 2-3 pohon saja. Bahkan, di samping rumah warga terdapat kebun kakao dengan kisaran 5 hingga 7 rante luasannya. Malahan, tak sedikit di antaranya yang menanam pohon kakao sebagai sampingan semata.
Kebanyakan petani kakao seperti di Desa Dendang Tirta Gang Pinang Dua Kecamatan Stabat Kabupaten Langkat, Halimah menandaskan jika kakao memang menjadi tren di kalangan masyarakat Kabupaten Langkat. Bahkan, usaha tersebut berkembang hingga menjadi bisnis keluarga sejak tahun 2000 lalu.
Halimah menuturkan, alasan keluarganya menanam kakao dikarenakan, kakao dapat menghasilkan keuntungan yang lumayan besar. Bahkan, menurutnya menanam dan memanennya pun tidak serumit komoditas lain. “Nenek-nenek saja bisa merawat dan memetiknya, tidak perlu menggunakan alat seperti tanaman kelapa sawit,” katanya tersenyum.
Selain itu, lanjut Halimah, menanam kakao sangatlah menguntungkan. Satu pohon saja bisa berpenghasilan minimal Rp150 ribu hingga Rp200 ribu dalam sekali panen.
Hal ini dikarenakan harga kakao yang sedang tinggi jika dibandingkan harga biji kakao kering di bulan Februari lalu. “Kakao ini bisa dipanen tiga kali dalam seminggu atau 12 kali dalam sebulan,” beber nenek berusia 72 tahun ini.
Tanaman Kakao juga menurut keterangannya sudah ada sejak dahulu, meski tidak setren sekarang. Selain harganya yang tinggi, menjualnya juga tidak perlu bersusah payah. Saat baru dijemur di pekarangan rumah saja dan masih dalam keadaan basah, kakao nya sudah langsung ditawar agen dan diborong habis.
Menurut Halimah, untuk menanam kakao tidak harus di lahan yang luas seperti tanaman sawit, kecuali kalau ingin berpenghasilan yang lebih besar. Sehingga petani pun bisa menanam dengan 3 atau 5 pohon saja, itu sudah bisa membantu perekonomian keluarga.
Dia menceritakan, kakao mulai tren di Langkat sejak tahun 2000-an. Saat itu, banyak warga yang walaupun telah bekerja di perusahaan perkebunan tetapi memilih untuk menanam kakao karena dianggap mampu mendatangkan keuntungan.
Dijelaskannya, pengeringan buah kakao olehnya masih menggunakan sistem tradisional. Tetapi, menggunakan pengeringan atau penjemuran dengan sistem tradisional saja sudah laku keras, sehingga membuat petani dan warga lain enggan melakukan dengan sistem fermentasi. **