Perkembangan Pengaturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Di Indonesia

Opini

Penulis: Ade Surahman**

SEJAK terjadinya reformasi pada tahun 1998, tonggak sejarah baru dalam perjalanan ketatanegaraan Indonesia seolah dimulai dari awal. Mulai dari tahun 1999 hingga tahun 2002, UUD 1945 telah mengalami perubahan (amandemen) sebanyak empat kali. Dalam kerangka amandemen UUD 1945 itu, bangsa kita telah mengadopsi prinsip-prinsip baru sistem ketatanegaraan, yakni mulai dari prinsip pemisahan/pembagian kekuasaan, prinsip checks and balances, hingga prinsip supremasi hukum dalam penyelesaian ‘konflik politik’.

Melalui amandemen UUD 1945 itu, lahirlah sejumlah lembaga-lembaga negara, baik yang kewenangannya diberikan oleh konstitusi (constitutionally entrusted power) maupun yang yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang (legislatively entrusted power).

Dalam hubungannya dengan pemerintahan di daerah, prinsip demokrasi tidak boleh disederhanakan hanya berkaitan dengan pengambilan keputusan dan penyelenggaraan pemerintahan yang melibatkan peran serta masyarakat. Demokrasi juga tidak sekadar berbicara mengenai pembagian/pemisahan kekuasaan, baik antar lembaga-lembaga negara di tingkat Pusat maupun antara Pusat dan Daerah, tetapi ada sejumlah hal penting untuk diperhatikan, yakni (i) unsur-unsur dari kekuasaan, (ii) bahan baku pengambilan keputusan, dan (iii) pola hubungan antara penguasa dan rakyat.

Salah satu isu penting hasil demokrasi dalam pentas ketatanegaraan Indonesia ialah lembaga legislatif daerah, yang dikenal dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Isu DPRD sangat urgen diperbincangkan, apalagi bila diletakkan dalam bingkai prinsip checks and balances dan paradigma pembagian/pemisahan kekuasaan. Untuk itu, tulisan ini akan membahas sejumlah isu terkait DPRD dalam Perundang-undangan Pemerintahan Daerah dan Lembaga Legislatif Daerah, yakni (i) perundang-undangan pemerintahan daerah dan lembaga legislatif daerah, (ii) kedudukan DPRD, (iii) fungsi, tugas dan wewenang DPRD, (iv) keanggotaan DPRD, dan (v) alat kelengkapan DPRD.

Perundang-undangan Pemerintahan Daerah dan Lembaga Legislatif Daerah UUD 1945 Hasil Amandemen memuat bab khusus tentang pemerintahan daerah, yakni Bab VI (Pemerintahan Daerah) yang memiliki 3 (tiga) pasal, yaitu Pasal18, Pasal 18A, dan Pasal 18B. Ketiga pasal ini merupakan hasil amandemen kedua UUD 1945, yang disahkan pada tahun 2000. Ketiga Pasal tersebut dijadikan landasan yuridis konstitusional bagi perundang-undangan pemerintahan daerah dan lembaga legislatif daerah.

Sepanjang sejarah ketatanegaraan Indonesia, perihal lembaga perwakilan daerah yang sering disebut DPRD merupakan salah satu aspek yang diatur di dalam perundang-undangan yang mengatur pemerintahan daerah. Adapun perundang-undangan dimaksud meliputi: (i) UU No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut UU 18/1965), (ii) UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah (selanjutnya disebut UU 5/1974), (iii) UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut UU 22/1999), (iv) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut UU 32/2004), (v) PERPPU No. 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut PERPPU 3/2005), (vi) UU No. 8 Tahun 2005 tentang Penetapan sebagai UU atas PERPPU No. 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut UU 8/2005), dan (vii) UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut UU 12/2008), dan (viii) UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut UU 23/2014),  (ix) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut PERPPU 2/2014), (x) UU No. 9 / 2015 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut UU 9/2015).

Di dalam UU 23/2014, pengaturan tentang DPRD dicantumkan dalam sejumlah pasal, yakni Pasal 1 angka 2, Pasal 1 angka 4, Pasal 1 angka 23, Pasal 37, Pasal 57, Pasal 79 ayat 1, Pasal 80 ayat (1) , Pasal 81 ayat 1, Pasal 82, Pasal 83 ayat (2), Pasal 85, Pasal 94, Pasal 95, Pasal 96, Pasal 97, Pasal 98 ayat (2), Pasal 99, Pasal 100, Pasal 101, Pasal 102, Pasal 103, Pasal 105, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 108, Pasal 109, Pasal 110, Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 208, Pasal 236, Pasal 239 ayat 2, 3, 4, 7), Pasal 240, Pasal 241 ayat (1), Pasal 242, Pasal 253, Pasal 261 ayat (4), Pasal 388.

Patut dicatat bahwa PERPPU 2/2014 mengubah dua Pasal yaitu Pasal 101 ayat (1) huruf d dihapus, Pasal 154 ayat (1) huruf d dihapus dan UU No. 9 / 2015 mengubah ketentuan ayat (1) Pasal 63, Pasal 65 ayat 1 huruf f dihapus, Pasal 66 ayat 3 dihapus, Pasal 88 diubah, Pasal 101 ayat (1), di antara huruf d dan huruf e, disisipkan huruf d1, Pasal 154 ayat (1), di antara huruf d dan huruf e, disisipkan huruf d1. Dengan demikian, sejauh terkait DPRD dalam UU 23/2014, yang tersentuh perubahan hanyalah Pasal 101 ayat (1) saja dan Pasal 154 ayat (1).

Sementara itu, serangkaian perundang-undangan yang secara khusus mengatur perihal DPRD juga telah lahir sepanjang sejarah ketatanegaraan Indonesia. Adapun perundang-undangan dimaksud mencakup: (i) UU No. 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD (selanjutnya disebut UU 16/1969), (ii) UU No. 5 Tahun 1975 tentang Perubahan UU No. 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD (selanjutnya disebut UU 5/1975), (iii) UU No. 2 ahun 1985 tentang Perubahan atas UU No. 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR sebagaimana telah diubah dengan UU No. 5 Tahun 1975 (selanjutnya disebut UU 2/1985), (iv) UU No. 5 Tahun 1995 tentang Perubahan atas UU No. 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR sebagaimana telah beberapakali diubah, Terakhir dengan UU No. 2 Tahun 1985 (selanjutnya disebut UU 5/1995), (v) UU No. 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD (selanjutnya disebut UU 4/1999), (vi) UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD (selanjutnya disebut UU 22/2003), dan (vii) UU No. 27 Tahun 2009 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD (selanjutnya disebut UU 27/2009). UU 27/2009-melalui Pasal 407-mencabut keberlakuan UU 22/2003; dan UU terakhir ini mencabut keberlakuan UU 4/1999; sedang UU 4/1999 ini mencabut keberlakuan UU 2/1985. UU No. 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Dengan demikian, yang kini berlaku hanyalah UU 17/2014.

Secara umum, pengaturan tentang DPRD terdapat dalam Bab V (DPRD Provinsi) yang memuat Pasal 314 s/d Pasal 362 dan dalam Bab VI (DPRD Kabupaten/Kota) yang terdiri atas Pasal 363 s/d Pasal 412. Diantara pasal-pasal ini, terdapat pasal yang telah dicabut karena sudah diatur secara khusus di dalam UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yakni Pasal 1 angka 4, Pasal 314 sampai dengan Pasal 412, Pasal 418 sampai dengan Pasal 421.

Pencabutan tersebut termaktub dalam Pasal 409 huruf d UU Pemda 2014 yang mencabut dan menyatakan tidak berlaku materi muatan UU MD3 yang khusus mengatur mengenai DPRD, baik DPRD provinsi maupun DPRD kabupaten/kota. Dengan demikian, sejauh terkait pembahasan DPRD, yang kini berlaku adalah UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Kedudukan DPRD
Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. (Pasal 1 angka 2, UU 23/2014).

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah. (Pasal 1 angka 2, UU 23/2014).
Perangkat Daerah adalah unsur pembantu kepala daerah dan DPRD dalam penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah. (Pasal 1 angka 23, UU 23/2014).

Kedudukan DPRD sebagai unsur penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dilaksanakan oleh DPRD dan kepala daerah. DPRD dan kepala daerah berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang diberi mandat rakyat untuk melaksanakan Urusan Pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah.

Dengan demikian maka DPRD dan kepala daerah berkedudukan sebagai mitra sejajar yang mempunyai fungsi yang berbeda. DPRD mempunyai fungsi pembentukan Perda, anggaran dan pengawasan, sedangkan kepala daerah melaksanakan fungsi pelaksanaan atas Perda dan kebijakan Daerah. Dalam mengatur dan mengurus Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah tersebut, DPRD dan kepala daerah dibantu oleh Perangkat Daerah.

Sebagai konsekuensi posisi DPRD sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah maka susunan, kedudukan, peran, hak, kewajiban, tugas, wewenang, dan fungsi DPRD tidak diatur dalam beberapa undang-undang namun cukup diatur dalam Undang-Undang ini secara keseluruhan guna memudahkan pengaturannya secara terintegrasi.
Perdebatan tentang isu kedudukan DPRD menyentuh pertanyaan mendasar, yakni apa “jenis kelamin” DPRD; apakah DPRD didudukan secara tegas sebagai lembaga (badan) legislatif sebagaimana dikenal dalam konsep trias politica ataukah diposisikan sebagai salah satu unsur penyelenggara pemerintahan daerah (Ari Dwipayana, 2008:20).
Lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda 2014) yang menggantikan UU Nomor 32 Tahun 2004 membawa perubahan penting terhadap fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), baik itu DPRD provinsi maupun DPRD kabupaten/kota.

DPRD yang sebelumnya melaksanakan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan kini berubah menjalankan fungsi pembentukan peraturan daerah (perda), anggaran, dan pengawasan. Titik fokus perubahan penting itu terletak pada perubahan fungsi legislasi menjadi fungsi pembentukan perda. Pada tataran praktik perubahan itu mungkin tidak penting dan tidak berimplikasi apa-apa karena sebelum diubah menjadi fungsi pembentukan perda pun memang fungsi DPRD adalah membentuk perda bersama dengan kepala daerah. (http://www.gresnews.com/berita/opini/90191-tinjauan-fungsi-dprd-paska-uu-pemda-2014/0/).

Penyelenggara Pemerintahan Daerah provinsi dan kabupaten/kota terdiri atas kepala daerah dan DPRD dibantu oleh Perangkat Daerah. (Pasal 57 UU 23/2014). DPRD provinsi terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih melalui pemilihan umum. DPRD provinsi merupakan lembaga perwakilan rakyat Daerah provinsi yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah provinsi. (Pasal 95 ayat 1 UU 23/2014).

Di dalam UU 23/2014, DPRD direposisi dari Badan Legislatif Daerah menjadi unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 95 bahwa DPRD merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pergeseran kedudukan DPRD dari Badan Legislatif Daerah menjadi unsur penyelenggara pemerintahan daerah tentu didasarkan atas perspektif dominan yang dianut para perumus UU 23/2014. Pertama, menurut para perumus UU 32/2004, dalam sistem negara kesatuan (unitarian state) tidak dikenal badan legislatif di tingkat daerah; dan badan legsilatif hanya berada di tingkat nasional (pusat). Oleh karena itu, dalam skema logika UU 23/2014, DPRD bukan  lembaga legislatif daerah. Kedua, karena DPRD bukan lembaga legislatif daerah, DPRD harus didudukkan sebagai salah satu unsur penyelenggara pemerintahan daerah bersama‐sama pemerintah daerah.

Dengan demikian, DPRD berada dalam ranah yang sama dengan pemerintah daerah dalam struktur hubungan dengan pemerintah pusat. Dengan kata lain, DPRD berada dalam rezim pemerintahan daerah.

Apa implikasi dari rumusan kedudukan DPRD sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah? Pertama, memposisikan DPRD sebagai unsur penyelenggara pemerintahan ketimbang sebagai lembaga perwakilan rakyat membuat DPRD lebih kuat secara institusional dari perspektif tata pemerintahan, tidak dari perspektif politik. Pada gilirannya, DPRD diposisikan sebagai lembaga perwakilan politik yang terlibat dalam proses politik pemerintahan.

Kedua, kedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah membuat posisi DPRD mengalami problem psiko-politis di hadapan pemerintah daerah sehingga mekanisme check and balances tidak bisa berjalan dengan baik. Ketiga, selain mengalami problem psiko-politis di hadapan kepala daerah, DPRD juga “lemah” secara psiko-politis di hadapan pemerintah pusat. Kedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah membuat DPRD berada dalam struktur hierarkis rezim pemerintahan daerah yang dipimpin oleh Presiden. Akibat bekerjanya struktur hierarkis ini, DPRD tidak bisa melepaskan diri dari proses politik dan produk hukum yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat, dalam hal ini Menteri Dalam Negeri (Mendagri).

Fungsi, Tugas dan Wewenang DPRD
Pada sisi lain, sesungguhnya DPRD lebih berfungsi sebagai lembaga pengontrol terhadap kekuasaan pemerintah daerah daripada sebagai lembaga legislatif dalam arti yang sebenarnya. Namun, dalam kenyataan sehari-hari, DPRD itu biasa disebut sebagai lembaga legislatif. DPRD, baik di daerah provinsi maupun kabupaten/kota, berhak mengajukan rancangan peraturan daerah (Raperda) kepada Gubernur-sesuai dengan yang ditentukan dalam UU 23/2014. Namun, hak inisiatif ini sebenarnya tidaklah menyebabkan posisi DPRD menjadi pemegang kekuasaan legislatif yang utama. Pemegang kekuasaan utama di bidang ini tetap ada di tangan pemerintah, dalam hal ini Gubernur atau Bupati/Walikota. (Jimly Asshiddiqie, 2006: 297).

Dengan demikian, fungsi utama DPRD ialah untuk mengontrol jalannya pemerintahan di daerah,  sedang berkenaan dengan fungsi legislatif, posisi DPRD bukanlah aktor yang dominan. Pemegang kekuasaan  yang dominan di bidang legislatif itu tetap Gubernur dan Bupati/Walikota. Bahkan, UU23/2014 “mewajibkan” Gubernur dan Bupati/Walikota mengajukan rancangan peraturan daerah (Raperda) dan menetapkannya menjadi Perda dengan persetujuan DPRD. Artinya, DPRD itu hanya bertindak sebagai lembaga pengendali atau pengontrol yang dapat menyetujui, menolak ataupun menyetujui dengan perubahan-perubahan, dan sesekali dapat mengajukan Raperda dengan usul inisiatif sendiri (Jimly Asshiddiqie, 2006:298).

Seiring dengan itu, berdasarkan pasal 101 ayat 1 UU 23/2014 dinyatakan bahwa DPRD mempunyai tugas dan wewenang: (a). membentuk Perda Provinsi bersama gubernur; (b) membahas dan memberikan persetujuan Rancangan Perda Provinsi tentang APBD Provinsi yang diajukan oleh gubernur; (c) melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda Provinsi dan APBD provinsi; (d) dihapus; (e) mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian gubernur kepada Presiden melalui Menteri untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan dan pemberhentian; (f) memberikan pendapat dan pertimbangan kepada Pemerintah Daerah provinsi terhadap rencana perjanjian internasional di Daerah provinsi; (g) memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama
internasional yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah provinsi; (h) meminta
laporan keterangan pertanggungjawaban gubernur dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah provinsi; (i) memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama dengan Daerah lain atau dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan Daerah provinsi; dan (j) melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sebagaimana telah dikemukakan, sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah, DPRD memiliki fungsi-fungsi dalam rangka mengawal berjalannya pemerintahan daerah. Fungsi tersebut mencakup fungsi pembentukan perda Provinsi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan. (Pasal 96 ayat 1 UU 23/2014).

Fungsi-fungsi tersebut dimiliki dan dijalankan oleh DPRD dalam kerangka representasi rakyat di Daerah provinsi dan kabupaten/kota. Dalam rangka melaksanakan fungsi DPRD provinsi menjaring aspirasi masyarakat. Dapat dijelaskan bahwa fungsi pembentukan Perda Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (1) huruf a dilaksanakan dengan cara: (a) membahas bersama gubernur dan menyetujui atau tidak menyetujui rancangan Perda Provinsi; (b) mengajukan usul rancangan Perda Provinsi; dan; (c) menyusun program pembentukan Perda bersama gubernur.

Dalam menetapkan program pembentukan Perda Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPRD provinsi melakukan koordinasi dengan gubernur. Fungsi anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (1) huruf b diwujudkan dalam bentuk pembahasan untuk persetujuan bersama terhadap rancangan Perda Provinsi tentang APBD provinsi yang diajukan oleh gubernur. (2) fungsi anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan cara: a. membahas KUA dan PPAS yang disusun oleh gubernur berdasarkan RKPD; b. membahas rancangan Perda Provinsi tentang APBD provinsi; c. membahas rancangan Perda Provinsi tentang perubahan APBD provinsi; dan d.membahas rancangan Perda Provinsi tentang Pertanggungjawaban APBD provinsi.

Fungsi pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (1) huruf c diwujudkan dalam bentuk pengawasan terhadap: a. pelaksanaan Perda provinsi dan peraturan gubernur; b. pelaksanaan peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah provinsi; dan c. pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan laporan keuangan oleh Badan Pemeriksa Keuangan. (2) Dalam melaksanakan pengawasan terhadap  pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan laporan keuangan oleh Badan Pemeriksa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, DPRD provinsi berhak mendapatkan laporan hasil pemeriksaan keuangan yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan. (3) DPRD provinsi melakukan pembahasan terhadap laporan hasil pemeriksaan laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) DPRD provinsi dapat meminta klarifikasi atas temuan laporan hasil pemeriksaan laporan keuangan kepada Badan Pemeriksa Keuangan.

Sebagai penyelenggara pemerintahan DPRD provinsi dan kab/kota mempunyai hak:a. interpelasi; b. angket; dan c. menyatakan pendapat. Hak interpelasi adalah hak DPRD provinsi untuk meminta keterangan kepada gubernur atau bupati/walikota mengenai kebijakan Pemerintah Daerah provinsi dan kab/kota yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPRD provinsi untuk melakukan penyelidikan terhadap kebijakan Pemerintah Daerah provinsi yang penting dan strategi sserta berdampak luas pada kehidupan masyarakat, Daerah, dan negara yang diduga bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

Hak menyatakan pendapat adalah hak DPRD provinsi untuk menyatakan pendapat terhadap kebijakan gubernur atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di Daerah provinsi disertai dengan rekomendasi penyelesaiannya atau sebagai tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket.

Untuk mengoptimalkan pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang DPRD provinsi serta hak dan kewajiban anggota DPRD provinsi, dibentuk fraksi sebagai wadah berhimpun anggota DPRD provinsi. Selain itu DPRD didukung oleh sebuah struktur yang disebut dengan alat kelengkapan DPRD.

Problem peran dan fungsi DPRD bisa jadi bersumber dari UUD 1945 sendiri. UUD 1945 mengatur tentang DPRD dalam dua bab yang berbeda, yaitu Bab VI tentang Pemerintahan Daerah dan Bab VIIB  tentang Pemilihan Umum. Bab VI memuat 3 (tiga) Pasal, yakni Pasal 18 (memiliki 7 ayat), Pasal 18A (memiliki 2 ayat), dan Pasal 18B (memiliki 2 ayat). Sedangkan Bab VIIB memuat 1 (satu) pasal saja, yakni Pasal 22E (memiliki 6 ayat). Dalam Bab tentang Pemerintahan Daerah (Bab VI) disebutkan bahwa pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki DPRD yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.33 Sementara dalam Bab tentang Pemilihan Umum (Bab VIIB) dikatakan bahwa Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Alat Kelengkapan DPRD
Adapun alat kelengkapan DPRD terdiri atas: (i) Pimpinan, (ii) Badan Musyawarah, (iii) Komisi, (iv) Badan pembentukan Perda Provinsi dan Kab/kota, (v) Badan Anggaran, (vi) Badan Kehormatan, dan (vii) alat kelengkapan lain yang diperlukan dan dibentuk oleh rapat paripurna. Dalam menjalankan tugasnya, alat kelengkapan dibantu oleh sekretariat dan dapat dibantu oleh kelompok pakar atau tim ahli.

Masing‐masing alat kelengkapan DPRD tersebut tidak diatur secara rinci dalam Pasal 110 UU 23/2014, kecuali perihal Pimpinan DPRD. Perihal tata cara pembentukan, susunan serta tugas dan wewenang alat kelengkapan DPRD didelegasikan untuk diatur sendiri oleh DPRD. Sebagai salah satu alat kelengkapan DPRD, pimpinan DPRD tentunya memiliki sejumlah tugas dan fungsi. Walaupun demikian, UU 23/2014 ternyata tidak mengatur secara rinci tugas dan fungsi pimpinan DPRD. UU ini hanya mengatur komposisi pimpinan DPRD serta tatacara pengisian jabatan tersebut. Pengaturan tentang tugas dan wewenang Pimpinan DPRD sebagai bagian dari alat kelengkapan DPRD justru dimandatkan untuk diatur lebih lanjut dalam peraturan DPRD tentang tata tertib.

Penutup
Perkembangan DPRD di Indonesia cukup terasa manakala lahir UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Perubahan yang sangat penting dan mendasar adalah terkait dengan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), baik itu DPRD provinsi maupun DPRD kabupaten/kota. DPRD yang sebelumnya melaksanakan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan kini berubah menjalankan fungsi pembentukan peraturan daerah (perda), anggaran, dan pengawasan.

 

** Mahasiswa S2 PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU PEMERINTAHAN
UNIVERSITAS LANGLANGBUANA BANDUNG – Owner CV. Mandiri Kreatif

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *