BANDUNG, KJ – Tiga tahun hidup sebagai penyintas atau orang dengan HIV (ODHIV), Meli Yulian mampu mengembalikan semangat hidupnya lagi. Setelah terpuruk hingga berat badannya turun dari 45 kg menjadi 28 kg.
“Bahkan saya sampai lumpuh. Badan sisa tulang doang. Saya sudah pakai kursi roda,” kenang Meli.
Dalam acara Active Case Finding (ACF), Senin 28 November 2022 di Kecamatan Mandalajati, Meli membagikan kisahnya melawan HIV stadium 3.
Ia mulai tahu status HIV yang diidapnya atau Orang Dengan HIV (ODHIV) sejak 2019. Kemudian, pada 2020 Meli mulai terapi.
“Saya sakit berkepanjangan, bolak-balik ke RS tidak sembuh-sembuh. Akhirnya disarankan untuk tes VCT (voluntary counselling and testing). Awalnya masih sangat awam dengan HIV,” akunya.
Ia mulai terapi melalui pengobatan Antiretroviral (ARV). Untungnya ia belum masuk ke fase AIDS, tapi sudah lumayan parah karena memasuki stadium 3.
Jika tidak ditindak dengan terapi Antiretroviral (ARV), infeksi HIV kronis ini akan terus tumbuh hingga 10 tahun ke depan.
Melalui pengobatan ARV, pengidap HIV mampu mempertahankan risiko penularan virus yang rendah, meskipun melakukan aktivitas seksual kepada orang dengan negatif HIV.
“Saya tidak pernah telat terapi ARV. Saya juga terbuka dengan keluarga, saudara, dan teman terdekat. Ada dukungan dari mereka. Suami juga sangat mendukung saya. Alhamdulillah suami negatif HIV,” ungkapnya.
Meski ia akui mulanya tak mudah untuknya jujur dengan kondisi HIV kepada keluarga. Sehingga Meli memilih untuk terapi dulu sampai sehat. Setelah itu ia beranikan diri untuk menyampaikan ke keluarga.
Bahkan ia sempat ingin bunuh diri, merasa hidupnya sisa beberapa hari lagi. Namun, ia kembali bangkit karena memiliki support system yang baik dari keluarganya.
“Saya pendamping layanan HIV di RSHS. Banyak penyintas yang tidak berobat dengan benar karena tidak memiliki ‘support system’ yang baik,” ucapnya.
“Jadi mereka merasa sendiri, ingin bunuh diri dan seperti tidak ada harapan hidup. Saya membantu teman-teman yang sendiri untuk mendapat ‘support system’ juga,” lanjutnya.
Ia menjelaskan, virus HIV memang tidak bisa hilang, tapi bisa ditekan aktivitasnya. Ibaratnya virus tersebut dikurung dengan pengobatan terapi.
“ARV ini disubsidi pemerintah, gratis. Di tahun 2004 obatnya sudah disubsidi sama pemerintah. Paling cuma bayar pendaftaran. Kalau di puskesmas Rp3.000, di RSHS administrasinya Rp45.000,” jelasnya.
Setelah rutin terapi dan konsultasi dengan dokter, Meli pun menjalani program hamil. Akhirnya, setelah menikah 5 tahun, kini ia tengah mengandung anak pertama. Setelah ia mulai hidup sehat, olahraga, makan, dan tidur teratur.
Kini kandungannya sudah jalan 6 bulan. Meski ia akui ada rasa takut jika kelak anaknya juga positif HIV.
“Tapi ketakutan itu tidak terlalu berlebihan karena saya juga minum obatnya sudah rutin,” tuturnya.
Biasanya bayi bisa terkena virus HIV jika ibunya hamil besar, tapi belum dites HIV. Sebab sang ibu belum pernah menjalani proses terapi.
“Tapi kalau kita sudah direncanakan, lihat ‘viral load’-nya dulu untuk mengetahui jumlah virus HIV apakah masih terdeteksi atau tidak. Imun tubuh kita juga dilihat apakah sudah bagus atau di bawah rata-rata,” paparnya.
Ia berpesan bagi para generasi muda Kota Bandung untuk tidak melakukan hubungan bebas dan menggunakan obat terlarang.
“Jangan sampai jadi menyesal. Hargai hidup kita. Jangan lakukan kesalahan fatal yang akibatnya seumur hidup,” tegasnya. (din)