Jakarta KJ – Dalam mengatasi masalah kekerasan terhadap perempuan, Indonesia kini menghadapi tantangan dari dalam, seiring menguatnya kelompok fundamentalis. Demikian disampaikan Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan Yuniyanti Chuzaifah di University of Melbourne, Australia, Rabu malam (11/11) seperti yang dikutip dari rilis.
Yuniyanti memberikan pemaparan soal pengalamannya memimpin Komnas Perempuan kepada 200-an peserta yang kebanyakan berasal dari kalangan pengacara, akademisi, dan sukarelawan Australia di kota Melbourne.
Dalam acara yang digelar oleh Australian Volunteers International tersebut, Yuni menjelaskan kondisi kekerasan terhadap perempuan saat ini di Indonesia.
“Ada tiga perempuan yang menjadi korban kekerasan setiap dua jam,” jelasnya. “85 persen terjadi di rumah tangga, istri yang menjadi korban, jumlahnya mencapai lebih dari 276 ribu kasus.”
Ia juga menjelaskan bahwa dari 15 jenis bentuk kekerasan perempuan yang ada di Indonesia, hanya ada tiga kasus yang diakui secara legal, lewat undang-undang perlindungan.
Temuan Komnas Perempuan juga menyebutkan pelaku kejahatan kebanyakan adalah orang terdekat korban. Lebih menariknya, para pelaku kejahatan menggunakan agaman untuk mengesahkan kelakukannya.
“Mereka telah salah memahami ajaran-ajaran agama dan kultur yang ada,” kata Yuni. “Indonesia sebenarnya memilki konstitusi yang progresif, tetapi tantangannya kini adalah adalah dalam penerapannya.”
Salah satu masalah yang kini dihadapi oleh Komnas Perempuan adalah meningkatnya jumlah kelompok fundamentalis yang menolak menyelesaikan masalah secara hukum.
“Mereka memilih untuk melihat dan menanggapinya lewat nilai-nilai agama, budaya, dan sosial yang mereka anut.”
Usai memberikan pemaparan, Yuni mendapat sejumlah pertanyaan dari hadirin yang ingin menggali lebih jauh peranan Komnas Perempuan dalam menyelesaikan masalah kekerasan terhadap perempuan. Mereka juga ingin tahu bagaimana melibatkan tokoh-tokoh agama untuk menyelesaikan masalah.
“Salah satu program yang kami lakukan adalah dengan mempersiapkan ruang dan pendidikan alternatif bagi perempuan, misalnya dengan mengajarkan plurasime, untuk menghentikan stigma dan prasangka yang didasari oleh nilai-nilai agama dan etnis,” ujarnya dalam bahasa Inggris.
“Kami juga telah menyediakan pelayanan pemulihan, termasuk ke sekolah-sekolah agama, kami juga mengajak para pemuka agama terutama yang perempuan, juga para akademis di bidang agama untuk menyatukan pandangan mereka berdasarkan cabang ilmu yang ada dan tidak hanya berdasarkan teks klasik kitab-kitab agama.”
Pemaparannya ini dilakukan dalam pertemuan rutin dilakukan Australian Volunteers International untuk menyampaikan laporan terbaru organisasi yang banyak mengirimkan sukarelawan ke sejumlah negara-negara di kawasan Indo-Pasifik, termasuk Indonesia.
Komnas Perempuan juga sudah dan masih terus menerima sukarelawan asal Australia yang ingin memberikan kontribusi berdasarkan pengalaman dan kemampuannya. /**