Faktor Internal Maupun Eksternal, Sebabkan Rendahnya Akses Pendidikan Dasar yang Setara

Pendidikan

BANDUNG, KJ –  Berdasarkan hasil penelitian Yayasan Sayangi Tunas Cilik (YSTC- Exclusion Mapping Research – 2016), didapatkan terdapat sekitar 2,5 juta anak di Indonesia hanya bersekolah sampai Sekolah Menengah Pertama. Rendahnya akses pendidikan dasar yang setara dan berkualitas disebabkan berbagai faktor, baik internal maupun eksternal.

Pendidikan inklusif sewajarnya menjadi jawaban penting di mana tidak ada diskriminasi bagi anak dalam proses pembelajarannya. Sayangnya, saat ini Peraturan menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif hanya mengatur pendidikan inklusif bagi peserta didik dengan kelainan dan potensi kecerdasan atau bakat istimewa.

“Sementara mereka yang berasal dari kelompok bahasa, etnis, dan budaya minoritas atau bekerja/tinggal di jalan, hingga anak-anak yang terdampak oleh krisis, konflik dan bencana masih belum mendapatkan perhatian yang memadai”, ungkap Brian Sriprahastuti, Central Area Senior Manager Yayasan Sayangi Tunas Cilik mitra Save the Children.

Semenjak tahun 2013, Provinsi Jawa Barat telah mendeklarasikan diri sebagai provinsi pendidikan inklusif yang mengedepankan sekolah inklusif (terbuka, ramah anak, dan tidak diskriminatif). Diskriminasi terhadap akses dan kualitas pendidikan berkualitas tidak hanya terjadi kepada anak-anak dengan disabilitas, tetapi juga mereka yang berasal dari ras minoritas, pekerja migran dan masih banyak lagi.

Brian mengungkapkan “Hak untuk mendapatkan pendidikan berkualitas berlaku bagi semua anak, tetapi banyak anak yang masih tersisihkan dari atau dalam sistem pendidikan. Artinya, sistem pendidikan inklusif memiliki arti penting terhadap pendidikan yang berpihak kepada anak dan memfasilitasi semua anak bisa sekolah”.

Aspirasi semua anak untuk bisa bersekolah disampaikan melalui kegiatan Race for Survival yang diadakan oleh Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat dan Yayasan Sayangi Tunas Cilik mitra Save the Children pada 10 Desember 2017. Kegiatan Race for Survival melibatkan 1.000 anak di Jawa Barat serta pemerintah provinsi Jawa Barat (dipimpin oleh Gubernur Ahmad Heryawan) untuk berjalan kaki ke Gedung Sate, Jawa Barat.

Kegiatan ini mejadi simbol untuk memastikan tidak ada anak yang tertinggal dalam mengakses pendidikan. Dalam kegiatan Race for Survival ini, juga dicanangkan deklarasi dukungan dari berbagai elemen masyarakat serta dunia usaha yang berkomitmen agar semua anak Jawa Barat harus sekolah.

“Pemerintah Jawa Barat terus mendorong semua anak harus sekolah melalui berbagai program pemerintah seperti Sekolah Terbuka dan Pendidikan Jarak Jauh (PJJ) “ungkap Ahmad Hadadi, Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat. (Sur)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *