BANDUNG, KJ – Hak setiap anak harus dijunjung tinggi sebagaimana yang termuat dalam UUD RI Tahun 1945 dan Konvensi PBB. Namun demikian, fenomena kekerasan dan eksploitasi anak masih sering terjadi, seperti anak telantar, anak yang menjadi korban tindak kekerasan dan banyak kasus lainnya.
“Penyelenggaraan perlindungan anak menjadi hal yang sangat penting untuk menjamin anak agar dapat diasuh dan dibesarkan dalam lingkungan suportif,” tutur Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat, H. Arif Hamid Rahman, SH saat menggelar Penyebarluasan Peraturan Daerah atau Sosialisasi Perda Nomor 3 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Anak, di salahsatu Caffe di kawasan Jalan Cipedes Bandung, Minggu 1 Oktober 2023.
Dihadapan peserta dari Pimpinan Cabang (PC) Persistri Kecamatan Sukasari, Arif yang juga anggota Komisi I DPRD Jabar ini berharap masyarakat pun bisa menyosialisasikan Perda 3 Nomor 2021. Terlebih, tutur dia, sejak tahun lalu, terbit Peraturan Gubernur (Pergub) Jabar Nomor 13 Tahun 2022 tentang Peraturan Pelaksana Perda 3/2021.
Legislator Partai Gerindra dari Dapil Jabar I meliputi Kota Bandung dan Kota Cimahi juga menegaskan, untuk memenuhi semua hak anak harus ada partisipasi dan tanggung jawab juga dari masyarakat, termasuk di dunia usaha, wujud pemenuhan kebutuhan terhadap hak anak dapat dituangkan dalam bentuk menyediakan fasilitas tempat bermain.
“Mudah-mudahan perda dan pergub ini menjadi perhatian khusus pemerintah daerah,’’ tambahnya.
Menurutnya, Perda dan Pergub bisa diimplementasikan di semua daerah yang ada di Jabar.
Adapun dijelaskannya, setiap anak wajib diberikan perlindungan khusus, mencakup diantaranya dalam situasi darurat, berhadapan dengan hukum, dari kelompok minoritas dan terisolasi, dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya juga korban pornografi dengan HIV dan AIDS.
Begitu juga, sambungnya, korban penculikan, penjualan, dan/atau perdagangan serta korban kekerasan fisik dan/atau psikis, korban kejahatan seksual, korban jaringan terorisme, penyandang disabilitas, korban perlakuan salah dan penelantaran, dengan perilaku sosial menyimpang dan korban stigmatisasi dari pelabelan terkait dengan kondisi orang tuanya.
Arif juga membeberkan untuk penanganan layanan rehabilitasinya adalah mencakup rehabilitasi fisik, medis, psikologis, pendidikan, dan sosial. Fasilitasi layanan bantuan hukum, fasilitasi pemenuhan kebutuhan dasar, mencakup pangan, sandang, permukiman, pendidikan, kesehatan, belajar dan berekreasi, jaminan keamanan, dan persamaan perlakuan.
“Adapula fasilitasi pemenuhan kebutuhan khusus bagi anak penyandang disabilitas dan gangguan psiko sosial, fasilitasi pelayanan kesehatan, pemulangan dan reintegrasi sosial, serta pelindungan anak saksi,” tambahnya.
Dalam perlindungan khusus anak, Pemerintah Provinsi Jawa Barat juga menyediakan Panti sosial taman penitipan anak dan kelompok bermain, rumah perlindungan sosial anak/rumah aman anak komprehensif terintegrasi, meliputi: panti sosial rehabilitasi anak berhadapan dengan hukum, panti sosial rehabilitasi anak membutuhkan perlindungan khusus, dan panti sosial rehabilitasi penyandang disabilitas mental, sensorik netra, rungu wicara, serta tubuh.
Arif menekankan butuh partisipasi dan tanggung jawab masyarakat dalam penyelenggaraan perlindungan anak.
“Partisipasi itu dapat dilaksanakan oleh orang perseorangan, lembaga pendidikan, organisasi keagamaan, organisasi sosial kemasyarakatan, lembaga sosial, organisasi profesi, dunia usaha, dan media,” tuturnya.
Pelaksanaan partisipasi masyarakat juga dilakukan melalui kegiatan pemberian saran dan pertimbangan dalam penyelenggaraan perlindungan anak, diseminasi informasi dalam rangka perlindungan anak, penyediaan dana, jasa, serta sarana dan prasarana dalam rangka perlindungan anak, pemberian edukasi dalam upaya peningkatan akhlak anak.
“Kita juga mempunyai tugas dalam mencegah terjadinya perkawinan anak, kekerasan, eksploitasi, diskriminasi dan penelantaran anak, pelaporan, pertolongan darurat dan perlindungan bagi anak yang mengalami perkawinan anak, kekerasan, eksploitasi, diskriminasi, dan penelantaran,” jelas Arif.
Ada pula advokasi penanganan perkawinan anak, kekerasan, eksploitasi, diskriminasi, dan penelantaran terhadap anak, fasilitasi proses pemulangan dan/atau reintegrasi sosial dan kegiatan lainnya yang mendukung upaya perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak.
“Dalam Pasal 24, setiap orang wajib melaporkan dugaan adanya tindak pidana pelecehan dan kekerasan anak di lingkungannya. Dan pada Pasal 30, tercantum bahwa setiap orang wajib melindungi anak dari pengaruh pornografi dan mencegah akses anak terhadap bahan/informasi yang mengandung unsur pornografi,” pungkasnya. (AS)