Program Tanam Padi Gowah, Strategi Pemkab Purwakarta Antisipasi Dampak Kekeringan

Info Jabar


PURWAKARTA, KJ – DINAS Pangan dan Pertanian Kabupaten Purwakarta, patut berbangga hati karena hasil produksi padi petani di wilayah ini kerap melebihi target yang ditentukan setiap tahunnya. Tak heran, selama ini hasil pertanian kabupaten ini menjadi salah satu daerah penyumbang bahan pokok beras bagi wilayah Jabodetabek.

Surplusnya hasil produksi pertanian ini bukan tanpa perjuangan. Salah satu yang menjadi indikatornya, karena sejak beberapa tahun ini petani di wilayah purwakarta tak kenal lagi dengan yang namanya musim tanam. Jadi, para petani di Purwakarta terus digenjot dalam hal peningkatan indeks pertanaman (IP).

Tak hanya itu, program tanam padi gogo sawah (gowah) juga digadang-gadang menjadi salah satu andalannya guna meningkatkan hasil produksi ini. Konsep gowah, sejauh ini menjadi strategi Purwakarta guna meminimalisasi kerugian akibat kekeringan ini yang kerap melanda di musim kemarau.

Kepala Dinas Pangan dan Pertanian Kabupaten Purwakarta, Agus Rachlan Suherlan menuturkan, berbagai upaya terus dilakukan jajarannya untuk meningkatkan produktivitas pertanian di wilayahnya. Salah satunya, melalui program gowah. Dengan cara ini, diharapkan hasil produksi petani tidak terjun bebas saat musim kemarau berlangsung.

“Di 2019 lalu, program gowah ini mulai digulirkan. Salah satu alasan diterapkannya program tanam gowah ini, karena selama 2019 lalu musim kemaraunya cukup panjang. Sehingga, pemerintah berupaya membuat terobosan untuk mengantisipasi dampak dari kondisi tersebut,” ujar Agus, Senin (21/9/2020).

Agus menjelaskan, di Purwakarta sendiri ada enam titik semacam demplot gowah yang tersebar di sejumlah kecamatan. Untuk padi gowah ini, memang ada plus dan minusnya. Plusnya, padi yang biasa ditanam di lahan darat, tahun lalu terpaksa ditanam di sawah. Meskipun kemarau, tidak ada sawah yang bera (tidak produktif). “Kalau produktivitasnya, sama seperti padi sawah pada umumnya, mencapai 6, 2 ton per hektarenya,” kata dia.

Adapun minusnya, lanjut Agus, biaya produksi padi gowah ini, jauh lebih besar. Sebab, petani harus rajin menyirami tanaman padinya. Untuk penyiramannya terap menggunakan pompanisasi. Serta, dibutuhkan tenaga kerja yang lebih banyak. Sebab, padi ini ditanam dengan cara ditugal. Kemudian, masa tanam sampai panennya lebih lama ketimbang padi sawah pada umumnya.

“Biasanya padi sawah ditanam sekitar 3 bulan 10 hari. Tapi, padi gowah bisa lebih dari empat bulan. Jadi, padinya lebih lama tinggal di areal sawah,” ujarnya.

Agus menuturkan, untuk tahun ini program gowah tidak ada. Sebab, musim kemarau tahun ini dinilai sifatnya basah. Karena, masih ada hujan yang turun. Sehingga, saat memasuki puncak kemarau, tanaman padi cenderung aman. Tidak khawatir mengalami kekeringan, gagal tanam, gagal panen, bahkan puso.

“Jadi, gowah ini hanya digulirkan ketika kondisinya sudah benar-benar rawan. Kalau tahun ini, kami bisa bernafas lega. Sebab, saat kemarau ini belum ada laporan sawah yang kekeringan,” ujarnya.

Program gowah ini, diluar kebiasaan petani. Alasannya, sejak lama padi gogo itu, selalu ditanam di lahan darat, lahan bekas kebun atau lahan LMDH. Tetapi, kedepan bisa jadi program gowah ini diintensifkan. Misalkan, untuk tanam periode Oktober (2020) sampai Maret (2021). (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *