BANDUNG (Kabarjabar.com) – DPR RI mengesahkan Perppu Nomor 2/2017 menjadi UU. Kini Perppu tentang Ormas resmi menjadi undang-undang menggantikan UU Nomor 17 Tahun 2013. Pengambilan keputusan pengesahan Perppu Ormas menjadi UU dilakukan dalam rapat paripurna yang digelar di DPR, kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (24/10/2017). Rapat sempat berjalan alot karena sikap fraksi mengenai perppu ini terbelah.
Ada 3 peta kekuatan terkait sikap fraksi dalam Perppu Ormas. PDIP, Hanura, NasDem, dan Golkar telah menyatakan mendukung perppu itu disahkan menjadi undang-undang pengganti UU No 17 Tahun 2013 tentang Ormas. Kemudian 3 fraksi, yaitu PKB, Demokrat, dan PPP, juga mengatakan setuju Perppu Ormas disahkan menjadi UU namun dengan catatan. Mereka meminta dilakukan revisi bila UU itu disahkan menjadi UU. Sementara itu, Gerindra, PKS, dan PAN masih tegas konsisten sejak awal menyatakan menolak Perppu Ormas.
Sebelumnya Pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden RI Joko Widodo dan Wakil Presiden RI Juusuf Kalla mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
Sejak dikeluarkannya Perppu tersebut telah memantik pro-kontra di kalangan masyarakat, baik masyarakat elit (termasuk anggota parlemen, pemimpin ormas, tokoh agama, akademisi, dlsb.) maupun masyarakat bawah atau akar rumput.
Tidak sedikit yang berpandangan dan berargumen bahwa dengan Perppu tersebut menunjukkan (1) menunjukkan watak otoriter pemerintah Joko Widodo yang bisa membahayakan bagi otonomi masyarakat dan masa depan bangsa dan negara, (2) telah memberangus kebebasan berekspresi dan berserikat masyarakat yang juga digaransi oleh Konstitusi UUD 1945, (3) bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi yang menjadi “ruh” Bangsa dan Negara Indonesia, dan (4) berpotensi untuk disalahgunakan oleh rezim penguasa baik sekarang maupun di masa datang guna melarang ormas-ormas yang dipandang oleh pemerintah telah bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Menyikapi hal itu, Anggota DPR RI dari Fraksi PAN, Haerudin Amin, S.Ag., MH pun ikut angkat bicara menyoal Perppu ormas ini. Dirinya menilai Perppu ini sangat bermasalah kelahirannya, sebab bila mengacu prosedur hukum yang berlaku seharusnya lahirnya perppu bila kondisi negara dalam keadaan genting atau dalam kondisi yang memaksa.
“Perppu bisa lahir manakala keadaan negara dalam keadaan bahaya atau ada masalah dimana undang-undang-nya tidak memadai untuk mengaturnya,” tegas Haerudin melalui sambungan selulernya, kemarin.
Disebutkannya, Perppu ini sangat bermasalah dalam materinya sebab menurutnya perppu ini berpeluang besar terhadap kediktatoran negara karena proses pembubaran ormas yang dianggap menyimpang pemerintah akan membubarkannya secara sepihak tanpa diberikan ruang atau melalui proses peradilan.
“Tafsir terhadap undang-undang divetikan kepada mendagri dan menkumham. Tafsir yang sangat berbahaya sebab sangat subjektif pemerintah yang tentu akan melahirkan kesewenang-wenangan kekuasaan. Bahkan Perpu sejenis ini pernah lahir seperti UU subversif atau jaman presiden soekarno, lalu kemudian UU ini pula yang menjadikan Pak karno dan kawan-kawan ditahan pada zaman orde baru,” tutur Haerudin yang terpilih dari Dapil Jabar XI ini.
Ditegaskannya, lahirnya perppu ormas ini ibarat keris Empu Gandring, sebab akan mengorbankan siapapun disamping juga munculnya perppu ini jelas-jelas melanggar konstitusi dan mengangkangi Hak Azasi Manusia (HAM).
Oleh karena itu, menurutnya lahirnya perppu ini tidak layak tidak pantas, Karena perppu tersebut menggambarkan kegagalan dialektika kebangsaan yang dinilai sudah sangat demokratis.
Dalam undang-undang ormas tersebut terdapat hukuman pidana bagi anggota dan pengurus ormas yang dinilai bertenta ngan dengan ideologi Pancasila dengan sanksi pidana penjara seumur hidup, pidana paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun (Pasal 82A ayat 2). Pasal ini dikritisi oleh beberapa pihak, karena hukuman yang diberikan dianggap terlalu lama dan langsung menyasar kepada keseluruhan anggota ormas.
Kemudian, tidak adanya proses pengadilan bagi ormas yang dibubarkan. Artinya, pembubaran ormas bisa dilakukan secara sepihak tanpa melewati mekanisme peradilan. Dalam Perppu Nomor 2 Tahun 2017, ketentuan yang mengatur soal pengadilan seperti yang tertera dalam Pasal 63 sampai dengan pasal 80 UU nomor 17 Tahun 2013 tentang organisasi masyarakat dihapus.
Peniadaan proses hukum tersebut dianggap sewenang-wenang karena secara sepihak memberikan kewenangan kepada Menteri Hukum dan HAM untuk mencabut kegiatan ormas dan melakukan pembubaran dengan sendirinya.
Bahkan Pemerintah bisa menafsirkan sendiri secara sepihak apakah ormas tersebut dianggap bertentangan dengan ideologi Pancasila, tanpa melewati proses seperti pembelaan atau klarifikasi ormas di pengadilan. Tentunya itu dianggap menghalangi hak masyarakat yang ada dalam berkumpul serta ikut serta dalam hidup bermasyarakat. (**)